MAKALAH PENGARUH IKLAN KOMERSIAL TERHADAP PERILAKU KONSUMERISTIK
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia
adalah makhluk yang tidak pernah puas. Dalam artian, manusia selalu
menginginkan sesuatu yang baru. Media massa pun terus memberikan
inovasi-inovasi untuk disuguhkan kepada masyarakat dalam rangka memberikan
informasi yang terbaru, terkini dan teraktual. Seiring dengan kemajuan
teknologi komunikasi yang semakin canggih, kita dapat berkomunikasi maupun
memperoleh informasi dengan cepat. Jarak bukanlah menjadi suatu hambatan lagi
dalam memperoleh informasi.
Stephen Robbins mengatakan bahwa
pada tahun 1980an dengan berkembangnya teknologi elektronik baru dalam
berkomunikasi telah membentuk cara baru bagi manusia dalam berkomunikasi.
Dengan adanya teknologi komunikasi yang semakin canggih, semakin mempermudah
manusia dalam mencari dan bahkan memperoleh informasi. Hal ini mengakibatkan
terjadinya perubahan pada tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan pada manusia.
Perubahan yang terjadi dapat berupa perubahan yang positif maupun negatif.
Iklan adalah salah satu bentuk
pemasaran yang bertujuan
untuk mempengaruhi konsumen untuk bertidak seperti apa isi pesan dari iklan.
Dalam kehidupan sehari-hari, sengaja maupun tidak disengaja manusia sering
menyaksikan, membaca, menonton, dan mendengar iklan. Iklan merupakan salah satu
program yang sering ditayangkan dalam berbagai siaran di media. Sehingga secara
sengaja maupun tidak disengaja ketika mendengarkan siaran dan informasi di
berbagai media, telinga dan mata masyarakat tidak lepas dari yang namanya
iklan.
Berbagai iklan komersial yang
senantiasa hadir di sela-sela siaran radio, televisi dan berbagai media
elektronik maupun cetak secara berulang-ulang menjadi suatu pesan yang bisa
sampai dan bahkan terekam dalam memori masyarakat. Pesan yang diterima melalui
iklan ini secara terus menerus akan terus menstimulir otak dari para konsumen
untuk melakukan apa yang sudah diiklankan. Pengaruh dari iklan-iklan komersial
ini membuat masyarakat mau membeli produk-produk yang diiklankan dan semakin
tergiur untuk membeli barang-barang di luar kebutuhan primer.
Hal ini membuat masyarakat kadang
kurang cermat dalam menentukan hal yang dibutuhkan dan hal yang diinginkan.
Ketertarikan yang dalam terhadap produk yang diiklankan kadang mendorong
masyarakat untuk berbelanja bukanlah sesuai apa yang dibutuhkan namun hanya berdasarkan
apa yang diinginkan semata. Keinginan untuk membeli muncul karena masyarakat
ingin mencoba suatu produk baru atau memenuhi tuntutan gaya hidup modern.
Selain itu juga disebabkan oleh keinginan untuk diterima lingkungannya agar
tidak disebut ketinggalan zaman atau istilahnya tidak gaul. Perilaku inilah
yang disebut perilaku konsumtif.
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah :
1.
Apa pengertian Iklan?
2.
Jenis-jenis
perkembangan iklan?
3.
Apa jenis-jenis
perilaku masyarakat?
4.
Efek atau pengaruh
iklan komersial terhadap perilaku masyarakat?
C.
Tujuan Makalah
Adapun tujuan khusus
makalah ini adalah agar mahasiswa khususnya kami sebagai penyususun mampu
memahami :
1. Mengetahui pengertian
iklan.
2. Mengetahui jenis-jenis perkembangan
iklan.
3. Mengertahui dan dapat
membedakan jenis perilaku masyarakat.
4. Mengetahui pengaruh yang
terjadi akibat iklan komersial terhadap perilaku masyarakat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Iklan
Iklan secara sederhana
adalah instrumen atau sarana untuk memprosikan dan memasarkan barang dalam
masyarakat industri. Ketika industri berkembang makin pasif, dan berbagai
produk industri budaya dan di tawarkan ke masyarakat konsumen dan makin beragam
dan kompetitif, maka yang terjadi kemudian adalah masing masing kekuatan
komersial mau tidak mau harus memanfaatkan iklan dan mengembangkan strategi
yang benar-benar efektif untuk menembus pasar dan memperluas pasar yang menjadi
pelanggan setia produk-produk yang mereka hasilkan.
Iklan, menurut Berkhouver
adalah setiap pernyataan yang secara sadar di tujukan kepada publik dalam
bentuk apapun, yang dilakukan peserta lalu lintas perniagaan untuk memperbesar
penjualan barang – barang dan jasa.
Menurut Thomas M.Garret
SJ. Iklan adalah aktivitas penyampaian pesan-pesan visual atau oral kepada
khalayak, dengan maksud menginformasikan atas memengaruhi mereka untuk membeli
barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi, atau untuk melakukan
tindakan-tindakan ekonomi terhadap ide-ide, institusi-institusi atau pribadi
yang terlibat dalam iklan tersebut (Kasiyan,2008:149)
Di era masyarakat post-modern, iklan memang bukan sekedar media
untuk mempromosikan sebuah produk, tetapi iklan boleh dikata telah menjadi
sistem ide yang mampu mempengaruhi dan mengkonstruksi cita rasa atau selera
masyarakat. Lebih dari sekedar referensi psikologis sebagai dasar acuan
konsumen untuk memutuskan membeli atau mengkonsumsi produk-produk mana yang
sesuai keinginannya.
Iklan sebenarnya memiliki nilai-nilainya sendiri secara
otonom yang menghegemoni, dan bahkan menentukan status sosial masyarakat yang
menjadi konsumen dan melakukan tafsir atas nilai-nilai yang ditawarkan iklan.
Masyarakat yang sehari-hari hidup dalam kepungan media massa, khususnya budaya populer biasanya tanpa sadar akan
sulit membedakan apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan dan keinginan mereka.
Iklan yang setiap hari bahkan setiap detik ditanyangkan di
televisi, disiarkan di radio, dan ditampikan di media cetak, termasuk pula
dipajang dalam ukuran besar dalam bentuk baliho di jalan-jalan raya. Maka,
cepat atau lambat akan menjadi ibaratnya akan menjadi menu sehari-hari yang
dikunyah terus-menerus sehingga orang akan makin sulit membedakan mana realitas
sosial yang nyata dan mana pula yang sebenarnya impian-impian semu yang
ditawarkan kekuatan industri budaya.
B.
Jenis-Jenis
Perkembangan Iklan
Iklan pada awalnya
bukanlah bagian dari strategi kekuatan kapitalis untuk meningkatkan laju
pemasaran produk-produk yang mereka hasilkan bagi pasar. Pada zaman Yunani
kuno, iklan diibaratkan pengumuman yang ditulis pada lembaran papirus dan dipasang di dinding-dinding kota
dengan tujuan mempromosikan ide tertentu atau menginformasikan sesuatu hak
yang dianggap penting.
Pada masa Romawi kuno, iklan sering tampil
dalam bentuk ajakan atau seruan untuk hadir di suatu acara ditempelkan di
tembok-tembok pengumuman kot Roma, seperti undangan melihat pertempuran
berdarah para gladiator di Coloseum. Di masa kapitalisme awal mulai berkembang,
iklan umumnya lebih banyak berupa poster-poster yang ditempel di berbagai sudut
kota, dengan warna yang menarik perhatian masyarakat.
Di masyarakat Inggris, penyebaran
informasi melalui iklan yang lebih terorganisasi dimulai pada abad ke-17, yang
mana pada abad tersebut perkembangan surat kabar yang semakin pasif di Inggris
menyebabkan perkembangan iklan ikut terdongkrak. Di masa itu, iklan yang
ditampilkan di media massa memang sifatnya masih informatif, sekedar menawarkan
komoditas tertentu, pengumuman ringan, dan sejenisnya. Namun pada masa kini,
iklan yang tampil umumnya adalah iklan baris yang sekedar menyampaikan informasi tentang
spesifikasi produk, manfaat, dan harganya. Format iklan dan substansi yang ditampilkan
dalam iklan berkembang semakin kreatif dengan adanya dukungan dari kehadiran
teknologi informasi yang semakin pesat. Banyak perusahaan telah menyadari bahwa
upaya untuk mendongkrak omset
penjualan dan memperluas pangsa pasar, niscaya akan sulit dilakukan bila tidak
didukung dengan iklan yang kreatif.
Di era masyarakat
post-modern, iklan telah berkembang dari sekedar pengumuman ringan,
penyebarluasan informasi, dan
promosi barang menjadi organisasi bisnis raksasa para kapitalis. Di neagara
manapun kehadiran dan peran iklan telah menguasai seluruh lapisan komunikasi di media
massa baik cetak maupun elektronik sehingga keduanya tidak dapat hidup tanpa
iklan. Iklan kini tidak lagi beda dengan penyihir sakti yang memiliki
mantra-mantra untuk mempengaruhi konsumen.
Melalui perantara iklan,
maka kekuatan kapitalis dengan cepat akan dapat mengenalkan produk komoditas
yang mereka hasilkan ke pasar, mengumbar berbagai macam janji yang sering kali
tidak relevan dengan manfaat yang sebenarnya. Namun justru di situlah
sebenarnya kekuatan lebih iklan. Karena iklan, tidak jarang terjadi orang
menjadi percaya manfaat dan khasiat sebuah produk, dan kemudian membeli begitu
saja seolah mereka mengunyah mentah-mentah janji-janji dan impian yang
ditawarkan iklan tanpa sekali pun berusaha mengkritisnya.
Di era post-modern,
iklan mampu mengeksploitasi nilai guna dengan nilai tukar yang semu, dengan
serangkaian image untuk menyebarkan benda-benda ke konsumen. Melalui iklan,
para produsen tidak hanya memberkan informasi tentang produk yang bisa
dikonsumsi masyarakat, melaikan secara menerus mempengaruhi, membujuk,
merangsang, dan menciptakan kebutuhan baru dalam masyarakat kontemporer secara
seragam dan universal.
Iklan yang
sesekali tampil dan diperdengarkan kepada khalayak, tentu tidak akan banyak
berarti karena dengan cepat akan dilupakan orang. Tetapi iklan yang secara
intensif terus diucapkan dan ditayangkan, seolah tidak ada jeda tanpa iklan
yang sama, maka kata-kata yang disiarkanpun akan membuat pemirsa atau pendengar
seolah tersugesti dan menjadikan iklan itu sebagai referensi terpenting sebelum
mereka memutuskan mengkonsumsi produk atau membeli jasa apa yang ditawarkan
kekuatan komersial pasar. Bahasa dalam iklan adalah bahasa yang sugestif dan
manipulatif. Ketika bahasa iklan terus menerus diperdengarkan kepada khalayak,
maka pelan namun pasti bahasa itu akan mengalami metamorfosis menjadi ideologi
yang diyakini banyak orang sebagai layaknya sebuah kebenaran.
Bagi kekuatan
komersial dan pelaku industri budaya, iklan merupakan sarana yang sangat efektif,
bukan saja untuk mempromosikan produk yang mereka hasilkan kepada khalayak
ramai, namun juga menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang terus diburu
konsumen. Di mata pelaku ekonomi, iklan menjadi bagian yang sangat penting
dalam sistem industri kapitalisme yang mampu mencuri perhatian dan menghegemoni
para konsumen, yang pada akhirnya pelaku ekonomi tersebut mengharapkan
keuntungan dari para konsumen yang mengkonsumsi sebuah produk.
Ø Masyarakat Pedesaan
Karakteristik
:
Menurut Roucek dan Warren (1962) dalam Raharjo (2004),
“masyarakat desa memiliki karakteristik: (1)besarnya peranan kelompok primer, (2)faktor
geografik yang menentukan sebagai dasar pembentukan kelompok/asosiasi, (3)hubungan lebih bersifat
intim dan awet, (4)homogen, (5)mobilitas sosial rendah,
(6)keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi, (7)populasi anak
dalam proporsi yang lebih besar.
Ø Sedangkan, Masyarakat
Kota Memiliki
Karakteristik :
(1)besarnya
peranan kelompok sekunder, (2)anonimitas merupakan ciri kehidupan
masyarakatnya, (3)heterogen, (4)mobilitas
sosial tinggi, (5)tergantung pada spesialisasi, (6)hubungan antara orang satu
dengan yang lain lebih didasarkan atas kepentingan daripada kedaerahan, (7)lebih
banyak tersedia lembaga atau fasilitas untuk mendapatkan barang dan pelayanan,
(8)lebih banyak mengubah lingkungan.”
Pernyataan
Roucek dan Warren tersebut jelas membedakan karakteristik masyarakat desa dan
kota. Masyarakat desa lebih sederhana dalam menjalani kehidupannya sebab
masyarakat desa memiliki tingkat kesamaan yang tinggi dengan masing-masing
individu yang ada di dalamnya, berbeda dengan masyarakat kota yang memiliki
banyak perbedaan pada masing-masing individunya. Dalam masyarakat desa, tingkat
diferensiasi sosial yang ada tidak
setinggi yang terjadi pada masyarakat kota (Raharjo 2004). Hal ini lah yang
membuat karakteristik masyarakat desa sangat khas dibandingkan dengan
masyarakat kota. Masyarakat desa cenderung memiliki asal-usul yang sama,
pekerjaan yang sama, dan tingkat pendidikan yang sama. Berbeda dengan
masyarakat kota yang biasanya berasal dari berbagai macam wilayah di Indonesia,
dengan tingkat pendidikan berbeda, dan spesialisasi pekerjaan yang berbeda
pula.
· Budaya
Jika bicara mengenai budaya, masyarakat desa tentu sangat
identik dengan budaya-budaya tradisionalnya. Tradisi, kepercayaan, norma, dan
nilai masih sangat kental di kalangan masyarakat desa. Budaya masyarakat desa
yang sangat tradisional bahkan tidak mengenal teknologi, maupun sistem
perekonomian yang modern. Namun, masyarakat pedesaan yang akan dibahas dalam
tulisan ini, bukan masyarakat pedesaan yang sangat primitif seperti itu.
Masyarakat pedesaan dalam hal ini ialah masyarakat yang masih kental akan
tradisi dan budaya tradisional yang mereka miliki, tetapi juga paling tidak,
tahu akan dunia luar, seperti teknologi dan media. Teknologi dan media yang
diibaratkan seperti jarum suntik bagi
masyarakat pedesaan yang masih minim akan pengetahuan.
Menurut Raharjo (2004), pola kebudayaan tradisional
merupakan produk dari besarnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya
tergantung kepada alam. Landis dalam Raharjo (2004) berpendapat bahwa
ketergantungan masyarakat desa terhadap alam lah yang menggambarkan garis besar
ciri-ciri kebudayaan tradisional masyarakat desa. Landis mencirikan kebudayaan
tradisional masyarakat desa sebagai berikut:
1. Sebagai konsekuensi dari
ketidak berdayaan mereka terhadap alam, maka masyarakat desa yang demikian ini
mengembangkan adaptasi yang kuat terhadap kekuatan alamnya
2. Pola adaptasi yang pasif
terhadap lingkungan alam berkaitan dengan rendahnya tingkat inovasi
masyarakatnya
3. Faktor alam juga dapat
mempengaruhi kepribadian masyarakatnya
4. Pengaruh alam juga
terlihat pada pola kebiasaan hidup yang lamban
5. Dominasi alam yang kuat
terhadap masyarakat desa juga mengakibatkan tebalnya kepercayaan mereka
terhadap takhayul
6. Sikap yang pasif dan
adaptif masyarakat desa terhadap alam juga nampak dalam aspek kebudayaan material
mereka yang relatif bersahaja
7. Ketundukan masyarakat
desa terhadap alam juga menyebabkan rendahnya kesadaran mereka akan waktu
8. Besarnya pengaruh alam
juga mengkibatkan orang desa cenderung bersifat praktis
9. Pengaruh alam juga mengakibatkan
terciptanya standar moral yang kaku di kalangan masyarakat desa
Pernyataan
Landis tersebut menggambarkan bahwa pengaruh alam sangat besar dalam
membentuk budaya masyarakat desa. Namun dewasa ini, masyarakat desa tidak lagi
sesederhana itu. Mereka tak lagi takluk dan pasrah terhadap alam begitu saja.
Mereka perlahan mulai mengenal teknologi dan media massa. Teknologi tersebut
lah yang membuat budaya tradisional itu lama-kelamaan memudar. Media massa
yang semakin marak dan beragam pun tak lagi dapat dihindari oleh masyarakat
desa yang kental akan budaya tradisional ini.
· Modernisasi
Menurut
Rogers dan Svenning (1969) dalam Nasution (1998), modernisasi pada tingkat
individual berkaitan dengan pembangunan pada tingkat masyarakat. Menurut Nasution
(1998), modernisasi merupakan proses perubahan individual dari gaya hidup
tradisional ke suatu cara hidup yang lebih kompleks, secara teknologis lebih
maju dan berubah cepat.
Jadi,
segala perubahan yang terjadi pada masyarakat desa yang melibatkan kemajuan
teknologi dapat dikatakan sebagai modernisasi. Hal ini berkaitan dengan bahasan
yang ada pada tulisan ini, bahwa masyarakat pedesaan pun mengalami proses
modernisasi, bahkan lebih terlihat perubahannya, dari tradisional menuju
modern. Masyarakat desa yang kental akan budaya tradisional perlahan menjajaki
dunia modern seperti yang terjadi pada masyarakat kota pada umumnya.
Modernisasi ini tak lepas dari pengaruh teknologi dan media massa. Media massa
cetak seperti koran, maupun elektronik seperti radio dan televisi.
Modernisasi
akibat media massa ini dapat terjadi karena tingkat pengetahuan masyarakat desa
yang masih tergolong rendah. Tingkat pengetahuan yang rendah tersebut membuat
masyarakat desa dengan mudah terpengaruh oleh pengaruh dari luar, termasuk
media massa seperti televisi. Modernisasi yang dimaksud dalam tulisan ini dapat
berupa perubahan sikap masyarakat desa yang mulai meninggalkan budaya
tradisionalnya menuju budaya modern.
Contoh
dari perilaku menuju modern itu ialah perilaku konsumtif masyarakat desa dan
kesadaran untuk melakukan sesuatu yang dianjurkan oleh pemerintah lewat iklan
layanan masyarakat padahal anjuran tersebut menyimpang dari tradisi yang telah
ada.
D. Efek dan Pengaruh Iklan Terhadap Masyarakat
Iklan,
Gaya Hidup dan Perilaku Konsumsi
Menurut
kajian sosiologi, ada dua pandangan dari para ahli mengenai iklan, yaitu:
1.
Iklan dipandang sebagai sarana membujuk
orang untuk membeli dan mengonsumsi barang yang sebenarnya tidak mereka
butuhkan. Misalnya tokoh Adorno dan Marcuse dari mazhab Frankfurt yang
berpendapat bahwa iklan berpengaruh dalam memelihara masyarakat kapitalis
dengan menciptakan kebutuhan palsu terhadap orang-orang yang dirayu dengan
aliran barang-barang. Para teoritis non-Marxian sering kali bersikap kritis dan
menyatakan bahwa iklan cenderung menciptakan dan mengekalkan nilai-nilai
materialis di masyarakat, serta mempromosikan barang-barang berbahaya seperti
rokok dan alkohol kepada orang-orang yang masih rentan.
2.
Iklan dipandang sebagai bentuk
komunikasi yang membantu menciptakan budaya kemasyarakatan tertentu dimana
iklan berperan dalam proses pembentukan budaya konsumen dengan membuat konsumen
mencari barang-barang yang posisional. Selain itu, iklan juga membantu warga
masyarakat mencari dan memapankan identitas sosialnya, serta mendorong
perkembangan dan arti penting citra dan gaya hidup. Iklan membentuk dan
mengukuhkan cita rasa budaya masyarakat bahwa memiliki jenis atau barang
tertentu berarti mencapai status sosial tertentu.
Di era globalisasi dan
perkembangan teknologi yang semakin massif, berbagai kajian membuktikan bahwa
yang berperan besar membentuk gaya hidup; budaya citra dan budaya cita rasa
adalah gempuran iklan yang menawarkan gaya visual yang acap kali mampu
mempesona dan memabukkan. Iklan mempresentasikan gaya hidup dengan menanamkan
secara halus arti penting citra diri dalam tampil di hadapan publik. Iklan juga
mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat, terutama ketika kita terlibat
dalam pergaulan dan relasi sosial dengan orang atau kelompok lain (Ibrahim,
dalam Chaney, 2004: 19).
Dalam iklan,
tanda-tanda yang digunakan secara aktif dan dinamis, sehingga orang tidak lagi
membeli produk untuk pemenuhan kebutuhan (needs), melainkan membeli
makna-makna simbolis, yang menempatkan konsumen dalam struktur komunikasi dan
dikonstruksi secara sosial oleh sistem produksi atau konsumsi. konsumen
dikondisikan untuk lebih terpesona dengan makna-makna simbolis, tanda, citra,
atau tema yang ditawarkan di balik sebuah produk, ketimbang fungsi utilities
suatu produk (Piliang, 003:287).
Iklan telah menjadi
saluran hasrat manusia sekaligus saluran wacana mengenai konsumsi dan gaya
hidup. Melalui iklan, masyarakat dikonstruksi untuk dapat membaca pesan-pesan komersial
secara keliru, karena selain terjadi hiperbola, dalam iklan juga dikembangkan
bentuk hegemoni budaya konsumen yang menawarkan impian-impian palsu. Seperti
dikatakan oleh Charles (2004) bahwa iklan adalah penampakan luar yang
menyesatkan yang membuat subjeknya berkilau.
Secara Lebih
Terperinci, Karakteristik Iklan Yaitu :
·
Pertama, iklan
cenderung terus menerus berusaha memanupulasi cita rasa konsumen dengan cara
melebih-lebihkan, mendramatisasi, mensimplifikasi persoalan dan menjanjikan
seolah-olah semua persoalan dan kebutuhan konsumen akan teratasi hanya dengan
cara membeli produk yang diiklankan. Seorang yang berambut kusut cukup dengan
sekali keramas maka rambutnya akan berkilau. Orang yang kulitnya hitam, maka
hanya dengan memakai produk tertentu selama enam minggu kulitnya dijamin akan
putih bersinar. Contoh-contoh iklan seperti itu, jelas mendramatisasi
persoalan, karena dalam kenyataannya yang terjadi tentu tidak semudah
sebagaimana dijanjikan dalam iklan. Herbert Mercuse (1968) menyatakan bahwa
iklan akan mendorong tumbuhnya kebutuhan palsu, menyebabkan orang berkeinginan
untuk menjadi orang tertentu.
·
Kedua, iklan
cenderung menggeser nilai guna menjadi nilai simbolis. Apapun produk yang
diiklankan dan apa kegunaan atau manfaat produk itu, dalam iklan sering menjadi
persoalan nomor dua, karena yang lebih ditonjolkan pada akhirnya adalah nilai
simbolisnya, yaitu bagaimana konsumen ketika menghadapi persoalan atau situasi
yang kurang lebih sama seperti yang ditampilkan dalam iklan, maka tanpa
berpikir panjang ia langsung ingat dengan apa yang dijanjikan dalam iklan dan
langsung mengkonsumsi produk industri budaya yang ada di iklan. Ketika seorang
lapar, sementra keburu harus berangkat ke kantor atau ke sekolah, maka otomatis
dalam kepalanya akan berpikir minum susu kental merk tertentu sebagai
pengganjal perutnya seperti yang setiap hari dia lihat dalam iklan di televisi.
·
Ketiga, iklan
pada dasarnya adalah agen sosialisasi dan imitasi. Melalui iklan, konsumen
disosialisasi dan diarahkan untuk mengembangkan perilaku imitatif, yaitu
mencontoh apa yang dilakukan idola atau ikon budaya yang menjadi bintang iklan.
Jika seorang bintang iklan ditampilkan lebih suka memilih shampoo merk
tertentu, maka otomatis konsumen yang melihat iklan itu akan memilih produk
yang sama karena bintang pujaannya memilih produk itu. Logika iklan senantiasa
mengandalkan kekuatan bahasa atau kata-kata bernada sugestif, agitatif, sloganistis,
dan tidak jarang bombastis (Ibrahim,2011:291).
·
Keempat, iklan
pada dasarnya adalah agen utama sekaligus instrument paling efektif untuk
memasyarakatkan ideologi pasar. Seseorang yang tumbuh di tengah gencar-gencarnya
televisi menayangkan iklan dan lingkungan di sekitarnya juga penuh dengan
poster serta baliho iklan, maka jangan heran jika dia akan tumbuh menjadi
seseorang yang konsumtif. Seorang konsumen yang tidak pernah puas hanya membeli
satu dua produk sesuai kebutuhan, tetapi menjadi orang yang senantiasa haus
untuk jalan-jalan ke mall, berbelanja dan tanpa berpikir panjang sangat mudah
menggesek kartu kreditnya untuk membayar barang-barang yang dikonsumsinya
karena diiming-imingi iklan.
Bukan sekali dua kali,
seseorang yang tanpa rencana berbelanja, ketika tiba di mall dan melihat
tawaran iklan diskon dan lain sebagainya, tiba-tiba tanpa sadar pulang sudah
menenteng sekian banyak tas belanjaan dan menghabiskan uang jutaan rupiah untuk
membeli barang-barang yang sebetulnya tidak pernah ia ketahui apa benar
mendesak dibutuhkan atau tidak.
Piere Bourdieu yang
mengkaji secara terinci mengenai pola konsumsi dan gaya hidup, seperti makanan,
musik, buku bacaan, surat kabar, dan majalah, menyatakan bahwa ekonomi barang
budaya memiliki logika dan otonomi tersendiri; lepas dari determinisme dan
memiliki otonomi dalam membentuk tingkat dan perbedaan selera (lihat: Evers,
1988: 60). Konsumen, meskipun dalam beberapa kasus tertentu sama-sama menjadi
korban iklan, namun mereka bukanlah kelompok yang serba homogeni. Masing-masing
memiliki hasrat yang berbeda, selera yang beragam, dan juga cita rasa yang
tidak selalu harus sama. Dalam skala yang terbatas, mungkin benar bahwa selera
konsumen terhadap jenis produk industri yang popular dikonstruksi atau
merupakan hasil bentukan kekuatan kapitalis yang dipopulerkan lewat kekuatan
iklan dan tawaran gaya hidup yang menggoda. Tetapi, yang namanya konsumen,
bagaimanapun tetap memiliki ruang dan peluang untuk melakukan dialog, dan mengembangkan
pertimbangan sendiri berdasarkan pengalaman dan pilihan-pilihannya yang
mandiri.
BAB
III
KESIMPULAN
Di era
masyarakat postmodern yang berkembang adalah apa yang disebut dengan politik
ekonomi libido. Artinya apa yang mendorong dan memengaruhi sekaligus menjadi
energi
penggerak roda perekonomian adalah libido, hasrat masyarakat untuk terus
mengkonsumsi sesuatu yang seolah tak pernah terpuaskan. Dalam politik ekonomi
libido, energi penggerak utama aktivitas perekonomian adalah iklan yang merupakan
ujung tombak kekuatan industri budaya untuk terus
memperluas pasar dan mendongkrak omset serta keuntungan dalam iklim persaingan
usaha yang makin kompetitif.
Iklan
mempresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus arti penting citra
diri dalam tampil di hadapan publik. Iklan
juga mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat, terutama ketika kita
terlibat dalam pergaulan dan relasi sosial dengan orang atau kelompok lain.
DAFTAR PUSTAKA
Suyanto, Bagong.
(2013). Sosiologi Ekonomi – Kapitalisme dan Konsumsi Di Era Masyarakat
Post-Modernisme. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, Bab 9
Afifah, 2015., “Iklan, Gaya Hidup, dan Perilaku
Konsumsi”. http://blog.unnes.ac.id/norafifah/2015/11/20/iklan-gaya-hidup-dan-perilaku-konsumsi. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2016
Komentar
Posting Komentar